BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Berbicara mengenai hadits, pastilah kita akan
langsung mengarah kepada Nabi Muhammad SAW karena beliau adalah sebaik-baiknya
makhluk. Banyak sikap dan perilaku beliau yang sangat mulia, baik itu dalam
segi perkataan, perbuatan, dan ketetapannya. Semua perilaku beliau sangat mulia
oleh karena itu, sudah sepatutnya kita tiru selaku umat beliau. Beliau adalah
seorang utusan yang dipilih oleh Allah untuk mengemban ajaran dan sekaligus
menyeru kepada seluruh umat manusia untuk taat dan patuh kepada Allah. Sebagai
Rasul beliau mempunyai karomah yang sangat luar biasa dibanding dengan manusia
lainnya.
Nabi Muhammad
SAW telah mewariskan kepada kita dua landasan pokok yang dijadikan
pedoman oleh umat manusia dalam menjalani kehidupannya disunia hingga nanti
akhirat kelak. Kedua sumber ini diyakini oleh umat Islam sebagai ajaran Islam
yang wajib untuk dijadikan sebagai pedoman yaitu Al-Qur’an dan Hadits.
Dalam
makalah ini kita akan membahas mengenai pen-tadwin-an hadits. Hadits yang kita
temui sekarang sudah mengalami perubahan yang sangat signifikan dan sudah
menempuh perjalanan yang sangat panjang. Hadits sejak zaman Rasul saw hingga
Tabiin belum ada kegiatan pengkodifikasian hadits. Tetapi yang kita temui
sekarang sudah dalam berbentuk buku dan sebagian orang mungkin hanya
menggunakan hadisnya saja tanpa mengetahui sejarahnya bisa dilakukan
kodifikasi.
Kodifikasi
atau tadwin hadis artinya pencatatan, penulisan, atau pembukuan hadis.[1]
Kegiatan kodifikasi ini secara resmi dilakukan berdasarkan perintah khalifah,
dengan melibatkan beberapa personil yang ahli dalam masalah ini, bukan
dilakukan secara perorangan atau untuk kepentingan pribadi, seperti yang
terjadi pada masa-masa sebelumnya.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa
faktor - faktor yang melatarbelakangi pertumbuhan dan perkembangan hadis pada
masa kodifikasi hingga masa penyusunan kitab-kitab hadis?
2.
Bagaimana
proses pertumbuhan dan perkembangan hadis pada Masa Kodifikasi hingga masa
penyusunan kitab-kitab hadis?
C. Tujuan
Penulisan Masalah
1. Untuk mengetahui sejarah tentang
pembukuan hadis.
2. Untuk mengetahui perkembangan hadis.
3. Untuk mengetahui kitab-kitab hadis di
periode tertentu.
4. Untuk mengetahui peran khalifah dalam
pembukuan hadis.
D.
Manfaat Penulisan Makalah
1. Agar mahasiswa/i mengetahui mengenai
sejarah pembukuan hadis.
2. Agar mahasiswa/i mengetahui perkembangan
hadis.
3. Agar mahasiswa/i mengetahui kitab-kitab
hadis yang dibuat pada periode tertentu.
4. Agar mahasiswa/i mengetahui peran
khalifah dalam pembukuan hadis.
BAB II
TINJAUAN TEORI
A.
Definisi Kodifikasi Hadis
1.
Definisi Kodifikasi Secara Etimologi
Di dalam
penulisan hadis Nabi saw sejak beliau masih hidup sampai dengan khalifah Umar
bin Abdul Azis sering muncul istilah-istilah: Al-Khitabah, At-Tadwin dan
Al-Tasnif .
Al-kitabah secara etimlogi berasal dari bahasa Arab yang artinya penulisan.
Sedang menurut etimologi al-Kitabah mempunyai arti penulisan hadis secara
pribadi. Seperti penulisan hadis yang terjadi sejak Nabi saw, Khulafa
al-Rasyidin sampai pada masa Umar bin Abdul Azis. Diantara sahabat yang telah
menulis hadis adalah Abdullah bin Amr bin As (27 SH-63 H) dengan kumpulan hadis
Shahifah As-Shadiqah, Shahifah Jabir bin Abdillah yang ditulis oleh Jabir bin
Abdillah bin Amr Al Anshari (16 SH-78 H) yang masih utuh sampai zaman tabi’in,
Anas bin Malik (10 SH – 93 H), ash-Sahahifah ash-Sahihah yang disusun oleh Abu
Hurairah ad-Dausi (19 SH-59 H) maupun Ali bin Abi Thalib (23 SH-40 H).
At-Tadwin artinya kodifikasi (pembukuan)/pencatatan. Sedangkan menurut
terminologi al-tadwin artinya pengumpulan dan penyusunan hadis yang secara
resmi didasarkan perintah khalifah dengan melibatkan beberapa personil, yang
ahli dalam masalah ini, bukan yang dilakuan secara peseorangan seperti yang terjadi
di masa-masa sebelumnya. Seperti pada saat Umar bin Abdul Azis menjadi khalifah
pada tahun 99-101 H kemudian tahun 100 H meminta Gubernur Madinah Abu Bakar bin
Muhammad bin Amir bin Hazm supaya membukukan hadis Rasul yang terdapat pada
para penghafal Amrah bin Abdi Rahman Al-Anshariyah dan Al Qosim bin Muhammad
bin Abi Bakr Ash Shiddieq dan juga kepada Ibnu Syihab az-Zuhri.
At-Tasnif artinya klasifikasi, kategorisasi menurut istilah mengandung makna
usaha menghimpun atau menyusun beberapa hadis (kitab hadis) dengan membubuhi
keterangan mengenai arti kalimat yang sulit-sulit dan memberi interpretasi
sekedarnya. Jika dalam memberikan interpretasi itu dengan jalan mempertalikan
atau menghubungkan dan menjelaskan dengan hadis lain, dengan ayat-ayat
Al-Qur’an atau dengan ilmu-ilmu lain maka disebut dengan ilmu Sharah dan
meringkas. At-Tasnif ini muncul pada abad ke V dan seterusnya yaitu abad
periodisasi klasifikasi dan sistematisasi susunan kitab-kitab hadis.[2]
Kodifikasi atau tadwin hadith secara resmi di sinonimkan
dengan tadwin al hadith Rasmiyan, tentunya akan berbeda dengan penulisan
hadith atau kitabah al hadith. Secara etimologi kata kodifikasi berasal
kata codification yang berarti penyusunan menurut aturan/ sistem tertentu.[3]
Atau dari kata tadwin dapat berarti perekaman (recording), penulisan (writing
down), pembukuan (booking), pendaftaran (listing, registration). Lebih dari
itu, kata tadwin juga berarti pendokumentasian, penghimpunan atau pengumpulan
serta penyusunan. Maka kata tadwin tidak semata- mata berarti penulisan, namun
ia mencakup penghimpunan, pembukuan dan pendokumentasian.
2.
Definisi Kodifikasi Secara Terminologi
Secara istilah,
kodifikasi adalah penulisan dan pembukuan hadis nabi secara resmi berdasarkan
perintah khalifah dengan melibatkan beberapa personel yang ahli dalam masalah
ini, bukan yang di lakukan secara perseorangan atau untuk kepentingan pribadi.
Dengan kata lain, ta’win al-hadis (kodifikasi hadis)adalah penghimpunan,
penulisan, dan pembukuan hadis nabi atas perintah resmi dari penguasa Negara
(khalifah)bukan di lakukan atas inisiatif perorangan atau untuk keperluan
pribadi.[4]
B.
Latar Belakang Terjadinya Usaha Kodifikasi Hadits
Faktor-faktor
pendorong kodifikaasi hadis
Kodifikasi
hadis pada masa Umar ibn Abd al-Aziz (99-101H), menurut Muhammad al-Zafzaf, di
latar belakangi oleh dua factor , yaitu :
Pertama,
para ulama’ hadis telah tersebar ke berbagai negeri, dikhawatirkan hadis akan
hilang bersama wafatnya mereka, sementara generasi penerus di perkirakan tidak
menaruh perhatian terhadap hadis.
Kedua,
banyak berita yang di ada-adakan oleh orang-orang yang suka berbuat bid’ah
seperti khawarij, Rafidhah, Syi’ah,dan lain-lain. Yang berupa hadis palsu
(mawdhu’).[5]
Ada
tiga hal pokok mengapa khalifah ‘Umar bin Abd al-Aziz mengambil kebijaksanaan
mengumpulkan hadits. Pertama, ia khawatir hilangnya hadits-hadits,
dengan meninggalnya para ulama di medan perang. Sebab peranan para ulama pada
saat sebelumnya bukan hanya mengajarkan agama, melainkan turut ke dalam medan perang.
Kedua, ia khawatir akan tercampurnya antara hadis-hadis yang shahih
dengan hadis-hadis palsu. Ketiga, semakin meluasnya daerah kekuasaan
islam, sementara kemampuan para tabiin antara satu dengan yang lainnya tidak
sama, jelas sangat memerlukan adanya usaha kodifikasi ini.[6]
Fakto-faktor
penyebab di lakukannya kodifikasi hadis tersebut dapat di klasifikasikan
menjadi dua:
· Factor internal berupa:[7]
1.
Pentingnya
menjaga autentisitas dan eksitensi hadis, karena hadis di samping sebagai
sumber agama islam yang ke dua setelah al-qur’an,juga merupakan panduan bagi
umat islam dalam menjalankan kehidupan sehari-hari.
2.
Semangat
untuk menjaga hadis, sebagai salah satu warisan nabi yang sangat berharga
karena nabi memang pernah bersabda bahwa beliau meninggalkan dua hal yang jika
uamat islam perpegang keduannyamereka tidak akan tersesat selamanya, yaitu
al-qur’an dan hadis Nabi.(HR.al-Hakim al-Naysaburi).
3.
Semangat
keilmuan yang tertanam di kalangan umat islam saat itu termasuk di dalamnya
aktifitas tulis menulis dan periwayatan hadis.
4.
Adanya
kebolehan dan izin untuk menulis hadis
pada saat itu.
5.
Para
penghafal dan priwayat hadis semakin berkurang karena meninggal dunia baik di
sebabkan adanya peperangan maupun yang lainnya.
6.
Rasa
bangga dan puas ketika mampu menjaga hadis Nabi dengan menghafal dan kemudian
Meriwatkannya.
· Factor ekternal berupa:[8]
1.
Penyebaran
islam dan semakin meluasnya daerah kekuasaan islam, sehingga banyak periwayat
hadis yang tersebar ke berbagai daerah.
2.
Kemunculan
dan meluasnya pemalsuan hadis yang di sebabkan antara lain oleh perbedaan
politikdan aliran.
Tidak
sedikit hadis yang mereka buat dapat meluluhlantakkan fondasi-fondasi islam,
sehingga bila tidak di lakukan klasifikasi dan koleksi, dapat berakibat pada
kehancuran ajaran islam pada umumnya.
C.
Gerakan Menulis Hadits Pada Kalangan Tabi’in dan Tabi’at Tabi’in
Seorang
ulama berhasil menyusun kitab tadwin yang bisa diwariskan kepada generasi
sekarang, yaitu Malik bin Anas (w. 93-179 H) di Madinah, dengan kitabnya yang
berjudul Al-Muwatha’. Kitab tersebut disusun pada tahun 143 H dan para ulama
menilainya sebagai kitab tadwin yang pertama.
Pen-tadwin-an
berikutnya dilakukan oleh Muhammad Ibn Ishaq (w. 151 H) di Madinah, Ibnu Juraij
(80-150 H) di Mekah, Ibnu Abi Zibin (80-150 H) di Madinah, Ar-Rabi’ bin Sabiih
(w. 160 H) di Basrah, hammad bin Salamah (w. 176 H) di Basrah, Sufyan
Ats-Tsauri (97-161 H) di Kuffah, Al-Auzai (88-157 H) di Syam, Ma’amar bin
Rasyid (93-153 H) di Yaman, Ibn Al-Mubarak (118-181 H) di Khurasan, Abdullah
bin Wahab (125-197 H) di Mesir dan Jarir Ibnu Abd Al-Hamid (110-188 H) di Rei.[9]
D.
Hadits dalam Periode Keempat (Masa Pembukuan dan Pengumpulan Hadis)
Sudah
dapat dipastikan bahwa sejak abad pertama Hijriah, mulai dari dari zaman
Rasulullah SAW, masa Khulafa Rasyidin dan sampai pada akhir abad petama
hijriah, hadis-hadis itu masih diperhatikan dengan menggunakan metode
penghafalan atau dari mulut ke mulut masing-masing perawi meriwayatkan
berdasarkan kekuatan hafalannya. Dan pada waktu itu belum terdorong untuk
membukukan hadis karena pada masa itu mereka terkenal kuat hafalannya .
Sehingga
masa pembukuan hadis secara resmi dimulai sejak awal abad ke II H.[10]
Dikala kendali khalifah dipegang oleh ‘Umar ibn Abdul Aziz yang dinobatkan dalam tahun II H seorang khalifah
dari dinasti Amawiyah yang terkenal adali dan wara’, sehingga
beliau dipandang sebagai Khalifah Rasyidin yang ke lima, tergeraklah keinginan
untuk membukukan hadis, karena beliau sadar bahwa perawi hadis yang mendapat
julukan bendaharawan hadis, lambat laun banyak yang meninggal dunia. Beliau
khawatir apabila tidak segera dibukukan
dan dikumpulkan dalam buku-buku hadis dari para perawinya, mungkinlah
hadis-hadis itu akan lenyap dari permukaan bumi dibawa bersama oleh para
penghafalanya ke alam barzakh.
Umar
lalu mengirimkan surat permintaannya itu dalam membukukan hadis kepada gubernur
Madinnah yaitu; Abu Bakar ibn Muhammad ibn Amer ibn Hazmin (120 H). Di
samping itu umar mengirimkan surat-suratnya kepada gubernur setara wilayah yang
dibawah kekuasaannya supaya berusaha membukukan hadis hadits yang ada pada
ulama yang diam di wilayah mereka masing-masing di antara ulama besar yang
membukukan hadis atas kemauan khalifah itu ialah: Abu Bakar Muhammad ibn Muslim
ibn Ubaidillah ibn Syihab Zuhry, seorang
tabi’in yang ahli dalam urusan fiqh dan hadis.
Para
ulama abad kedua membukukan hadis tanpa menyaringnya, yakni mereka tidak hanya
membukukan hadis-hadis saja, tetapi fatwa-fatwa para sahabatpun dimasukan ke
dalam bukunya. Oleh karena itu, dalam kitab-kitab itu masih terdapat
hadis-hadis marfu’, mauquf, dan maqhtu’. Kitab-kitab hadis
yang telah dibukukan dan dikumpulkan dalam abad kedua ini, jumlahnya banyak. Akan
tetapi, yang terkenal dikalangan hadis adalah:
1.
A-Muwaththa’, susunan Imam Malik (95-179 H).
2.
Al-Maghazi
wal Siyar, susunan
Muhammad ibn Ishaq (150 H).
3.
Al-Mushannaf,
susunan Al-Auza’i (150 H).
4.
Al-Mushannaf, susunan Sy’bah Ibn Hajjaj (160 H).
5.
Al-Mushannaf,
susunan Al-Laits Ibn Sa’ad (175 H).
6.
Al-Mushannaf,
susunan Sufyan Ibn ‘Uyainah (198 H).
7.
Al-Mushannaf,
susunan Abdul Razzaq As-San’any (211 H).
8.
Al-Mushannaf,susunan Al-Humaidy (219 H).
9.
Al-Maghazi
Nabawiyah,susunan Muhammad Ibn waqid Al-Aslamy.
10.
Al-Musnad,susunan Abu Hanifah (150 H).
11.
Al-Musnad,
susunan Al-Iman Asy-Syafi’i (204 H).
12.
Al-Musnad,
susunan Al-Iman Zaid Ibn Ali.
Keadaan
seperti ini menyebabkan sebagian ulama mempelajari keadaan rawi-rawi hadis dan
dalam masa ini rawi-rawi banyak yang lemah.
E.
Hadits dalam Periode Kelima (Masa Pentashilan)
Mula-mulanya
kebanyakan ulama Islam mengumpulkan hadis-hadis yang terdapat di kota mereka
masing-masing. Sebagian kecil saja diantara mereka yang pergi jauh ke kota lain
untuk kepentingan hadis. Namun beda halnya dengan Al-Bukhari yang mula-mulanya dengan sengaja pergi jauh
ke kota-kota lain untuk mencari hadis, beliau sampai pergi ke Rei, Damsyik,
Qaisariyah, Asqalan , Himsah, Kuffah, Makkah, Madinah, Mesir, Baghdad, Bashrah,
Maru dan Naisabur. Beliau mengumpulkan hadis yang tersebar di daerah-daerah
terebut selama enam belas tahun lamanya untuk menyiapkan sebuah kitab
shahihnya.
Pada
awalnya ulama-ulama Islam menerima hadis dari para perawi, lalu menulis kedalam
bukunya, dan tidak mengadakan syarat-syarat menerimanya dan tidak memperhatikan
shahih atau tidaknya. Musuh yang berkedok Islam pun menyaksikan para ulama-ulama
hadis dalam mengumpulkan hadis, mereka pun berani mulai memalsukan hadis dan
berusaha menambahkan lafalnya atau membuat hadits maudlu’.
Melihat betapa
keseriusannya para musuh Islam ini dalam mengacaukan hadis, para ulama hadis
membahas keadaan perawi-perawi dari berbagai segi: keadilan, tempat kediaman, masa dan lain
sebagainya, para ulama hadis pada waktu iiu berusaha memisahkan hadis shahih
dari dha’if yakni men-tashhih-kan
hadits.
Al-Bukhari
menyusun kiab-kitabnya dengan nama Al-Jamius Shahih. Di dalam kitabnya ia hanya
membukukan yang dianggap shahih, lalu hal ini diikuti oleh Muslim. Sesudah
Shahih Bukhari dan Shahih Muslim bermunculanlah imam-imam mengikuti jejak
Bukhari dan Muslim, diantaranya Abu Dawud, At-Tirmidzi dan An-Nasa’i yang
kemudian dikenal oleh masyarakat dengan judul Al-Ushul Al-Khamsyah (lima kitab
hadis yang pokok).
Di
samping itu, Ibnu Majah menyusun Sunan-nya. Kitab Sunan ini kemudian
diolongkan oleh para ulama ke dalam kitab-kitab induk sehingga kitab-kitab
induk itu menjadi enam buah, yang kemudian dikenal dengan nama Al-Kutub
Al-Sittah’.[12]
Secara
lengkap kitab-kitab yang enam diurutkan, sebagai berikut: [13]
1.
Al-Jami
Ash-Shahih susunan Al-Bukhari.
2.
Al-Jami
Ash-Shahih susunan Muslim.
3.
As-Sunan susunan Abu Dawud.
4.
As-Sunan susunan Tirmidzi.
5.
As-Sunan
susunan Nasai.
6.
As-Sunan
susunan Ibnu Majah.
F.
Hadis dalam Periode Keenam (Dari awal abad IV hingga Tahun 656 H)
Periode
keenam ini dimulai dari abad keempat hingga tahun 656H, yaitu pada masa
‘Abasiyyah angkatan kedua. Periode ini dinamakan Ashru At-Tahdib wa
At-Tartibi wa Al-Istidraqi wa Al-Jami’.[14] Ulama-ulama
hadis dalam abad kedua dan ketiga, digelari mutaqaddimin, yang
mengumpulkan hadis dengan semata-mata berpegang kepada usaha sendiri dan
pemeriksaan sendiri, dengan menemui para penghafalanya yang tersebar di setiap
pelosok dan penjuru negara Arab, Parsi dan lain-lainnya.
Maka
setelah abad ke ketiga berlalu bangkitlah pujangga-pujangga abad ke empat. Para
ulama abad keempat ini dan seterusnya digelari ‘Mutaakhirin.[15] Diantara
usaha-usaha ulama hadis yang terpenting dalam periode ini adalah:
1.
Mengumpulkan
Hadis Al-Bukhari/Muslim dalam sebuah kitab. Diantara kitab yang mengumpulkan
hadis-hadis Al-Bukhari dan Muslim adalah kitab Al-Jami’ Bain Ash-Shahihani oleh
Ismai Ibn Ahmad yang terkenal dengan nama Ibnu Al-Furat (414 H).
2.
Mengumpulkan
hadis dalam enam kitab.
Diantara kitab yang menggumpulkan hadis-hadis kitab enam adalah
Tarjidu As-Shihah oleh Razin Mu’awiyah.
3.
Mengumpulkan
hadis yang terdapat dalam berbagai kitab. Diantara kitab yang mengumpulkan
hadis-hadis dari berbagai kitab adalah:
1)
Mashabih
As-Sunnah oleh Imam Husain Ibn Mas’ud Al-Baghawi (516 H).
2)
Jami’ul
Masanid wal Alqab oleh Abdur Rahman ibn Ali Al-Jauzu (597 H).
4.
Mengumpulkan
hadis-hadis hukum dan menyusun kitab-kitab ‘Athraf. Diantaranya kitab-kitab
yang mengumpulkan hadis hukum adalah:
1)
Muntaqa
Akhbar, oleh Majduddin ibn Taimiyah Ak-Harrany (652 H)
2)
Al-Ahkamus
Sughra, oleh Al-Hafidz Abu Muhammad Abdul Haqq As-Asybily (Ibnu Kharrat) (582
H)[16]
Pada
masa ini timbul usaha-usaha istikhraj,umpanya mengambil hadis dari
Bukhari Muslim, lalu meriwayatkannya dengan sanad sendiri yang lain dari sanad
Al-Bukhari atau Muslim. Diantaranya Mustakhraj untuk Shahih Al-Bukhari adalah
Mustakhraj Shahih Bukhari oleh Hafidh Al-Jurjany.
Pada
periode ini muncul pula usaha istidrak, yakni mengumpulkan hadis-hadis
yang memiliki syarat-syarat Bukhari dan Muslim atau salah satunya yang
kebetulan tidak diriwayatkan atau di shahihkan oleh Bukhari dan Muslim.
Kitabnya dinamai mustadrak. Diantaranya Al-Mustadrak oleh Abu Dzar Al-Harawy.[17]
Pada abad
kelima dan keenam dititik beratkan pada usaha memperbaiki susunan kitab atau
mengklasifikasikan hadis dengan menghimpun hadis-hadis yang sejenis kandunganya
atau sifat-sifatnya kedalam satu kitab. Kemudian mereka mensyarahkan
(menguraikan dengan luas) dan mengikhtisarkan (meringkaskan) kitab-kitab hadis
yang disusun oleh ulama’ pendahulunya.[18]
G. Hadis dalam Periode Ketujuh (dari
Abad ke-7 – Abad ke-10)
India
memegang peranan penting dalam perkembanngan hadist. Mulai dari Baghdad
dihancurkan oleh Hulagu Khan, berpindahlah kegiatan perkembangan hadis ke
India. Saat itu banyak kitab-kitab hadis yang berkembang dalam masyarakat umat
islam dengan usaha penertiban yang dilakukan oleh ulama-ulama India. Merekalah
yang menerbitkan kitab “Ulumul Hadis” karangan Al-Hakim.[19]
Cara
yang ditempuh oleh ulama-ulama pada periode ini menertibkan isi kitab-kitab
hadis, menyaringnya dan menyusun kitab-kitab takhrij, serta membuat kitab-kitab
jami’ yang umum, kitab-kitab yang mengumpulkan hadis hukum, mentakhrijkan
hadis-hadis yang terkenal dalam masyarakat dan menyusun kitab Athraf.
Kitab-kitab
Zawaid
Kitab-kitab
Zawaid yaitu kitab yang berisi hadis-hadis yang tidak terdapat dalam
kitab-kitab sebelumnya. Kitab Zawaid
Sunan Ibnu Majah, Kitab Ith-Haful Mahrah bi Zawaidil Masanidil ‘Asyrah, Kitab
Zawaid As Sunanil Kubra (hadis-hadis yang tak terdapat dalam kitab enam).
Ketiga kitab ini disusun oleh Al Bushiry (840 H).
Dinamai
kitab Zawaid karena periode ini ulama mengumpulkan hadis-hadis yang tak
terdapat dalam kitab-kitab sebelumnya ke dalam sebuah kitab tertentu. Diantara
kitab yang terkenal, ialah Kitab Zawaid sunan Ibnu Majah (yakni hadis-hadis
yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah yang tiada terdapat dalam kitab-kitab yang
lain).[20]
Kitab Jawami’ yang umum
Kitab
Jawami yang umum yaitu ulama’-ulama’ hadis yang mengumpulkan hadis-hadis yang
terdapat dalam beberapa kitab. Seperti Kitab Jami’ul Masanaid was Sunan Al
Hadi li Aqwami Sanan oleh Al Hafidh Ibnu
Katsir (9774 H). Berisi kumpulan hadis-hadis Bukhari Muslim, Sunan Nasa’I, Abu
Daud At Turmudzi, Ibn Majjah, Musnad Ahmad, Al Bazzar, Abu Ya’la.
Pada
periode ini ulama-ulama hadis mengumpulkan pula hadis-hadis yang terdapat dalam
beberapa kitab, ke dalam sebuah kitab yang tertentu. Yang termasuk kitab
jawami’ yang umum adalah Jami’ul Jawami’, susunan Al Hafidh As Sayuthi
(911 H) dalam kitab ini dikumpulkan hadis-hadis kitab enam dan lain-lain yang
mengandung banyak hadis dha’if dan maudhu’.
Kitab
yang mengumpulkan hadis-hadis hukum
Kitab
yang Mengumpulkan Hadis-hadis Hukum, diantaranya seperti Kitab Bulughul Maram
mi Ahaditsil Ahkam, oleh Al hafidh Ibnu
Hajar Al Asqalany (852 H). dalam kitab ini terdapat 1400 hadis dan telah
disyarahkan oleh banyak ulama’.
Kitab
Bulughul Maram min Ahaditsil Ahkam, oleh al-Hafidh Ibnu Hajar al Asqalany (852
H). Kitab ini mengandung 1400 buah hadis yang telah disyarahkan oleh banyak
ulama. Diantaranya Al qadli Al Husaun Muhammad ibn Isma’il As San’any (1182 H)
dalam kitab bernama Subulus Salam dan Shiddiq Hasan Khan (1307 H) dalam kitab
Fathul ‘Allam.[21]
Kitab Takhrij
Kitab Takhrij
Hadis yang Terkenal di Masyarakat, yaitu hadis yang terkenal di masyarakat yang
memiliki berbagai nilai. Maka ulama’-ulama’ mengumpulkan hadis-hadis itu dalam
suatu kitab untuk diterangkan nilai-nilai dan derajat-derajat hadis. Seperti
Kitab Tashilus Subul Ila Kasyfillibas oleh ‘Izzuddin Muhamad Ibnu Ahmad Al
Khalily (1507 H).
Kitab Takhrij,
yakni kitab yang tujuanya untuk menerangkan tentang tempat-tempat pengambilan
hadis-hadis dan nilai-nilainya. Karena banyak hadis yang tidak disebut
perawinya siapa pentakhrijnya dan tidak pula diterangkan nilainya. Diantara
kitab takhrij ini seperti : Takhrij Alhaditsil Baidlawy oleh Abdul Rouf Al
Manawy. Takhrij Alhaditsil Ihya oleh Zainuddin Al ‘Iraqy.
Banyak
kitab dalam berbagai ilmu yang mengandung hadis yang tidak disebutkan siapakah
perawinya dan siapa pentakhrijnya dan tid ak pula diterangkan nilainya. Maka
sebagian ulama berusaha menerangkan tempat-tempat pegambilan hadis itu dan
nilai-nilainya dalam sebuah kitab tertentu. Diantaranya kitab Takhrij Ahadis
Tafsir Al Kasysyaf karangan Al Zaila’y (762 H). Akan tetapi kitab ini tidak
mengtajriskan seluruh hadis yang disebut oleh pengarang Al Zaila’y.[22]
Kitab-kitab
Athraf
Beberapa orang
ulama menyusun kitab-kitab Athraf itu, seperti:
a.
Athraful
Musnad Al Mu’tali bi Athrafil Musnadil Hanbaly oleh Ibnu Hajar.
b.
It-haful
Maharah Biathrafil ‘Asyarah oleh Ibnu Hajar Al Asqalany.
Inilah
usaha periode penting oleh ulama-ulama untuk mengumpulkan hadis dan
mencetajnya. Dan dalam periode inilah lahir kitab-kitab syarah hadis-hadis yang
besar seperti Fathul Bari, Umudatulari, Irsyadus Sari, dan lain-lain.
Kitab
–kitab yang disusun pada abad ke-7 H
Riyadhus
Shalihin oleh Al-Iman An Nawawy. Kitab ini
telah disyarahkan oleh Ibnu Ruslapn As Shiddiqy dalam kitab Dalilul Falihin
Al Arba’in oleh An Nawawy dan telah disyarahkan oleh banyak ulama. Diantranya
Ahmad Hijazy Al Faaryany dalam kitab Al Majalisus Saniyah ‘alal Arba’in An
Nawawiyah. [23]
Kitab-kitab
yang disususn pada abad ke-8 H
Jami’ul Masanid was Sunan Al Hadi ila aqwami sanan, susunan Al Hafidh Ibnu Katsir (774 H)
Al Ilman fi Ahaditsil Ahkam,
susunan Al Iman Ibnu Daqiqil ‘Ied (702 H). Kitab ini telah disyarahkan oleh
pengarangnya dalam kitabnya Al Imam.[24]
Kitab-kitab
yang disusun pada abad ke-9 H
Majma’uzzawaid wa mamba’ul Fawaid, susunan Al Hafidh Abil Hasan ‘Ali ibn Abi Bakar Ibn Sulaiman Asy
Syafi’i Al Haitamy (1303 H)
Bulughul Maram, susunan Al
hafidh Al Asqalany. Di dalamnya dikumpulkan sejumlah 1400 hadits. Kitab ini
telah disyarahkan oleh beberapa ulama seperti: 1) Subulussalam, oleh Muhammad
Ibn Isma’il Ash Shan’any (1128 H) , 2) Fat-hul ‘Allam, oleh Siddiq Hasan Khan
(1307 H)[25]
Kitab-kitab yang disusun pada abad ke-10 H
Jum’ul jawami, susunan Al Hafidh As Sayuthy. Di dalamnnya
dikumpulkan seluruh hadits kitab enam dan lain-lain tetapi belum sempurna. Di
dalamnya banyak tterdapat hadits maudlu’. Kittab ini telah susunannya oleh
Alauddin Ali ibn Hisyam Al Hindy (975 H) di dalam kitab kanzul ‘Ummal fi
sunanil Aqwali wal Af’al.
Lubabul Hadits, oleh As
Sayuthy.
Kitab ini telah disyarahkan oleh Muhammad Nawawy dalam kitab Tanqihul
Qaulil Hadits. [26]
BAB
III
ANALISIS
A. faktor - faktor yang melatarbelakangi pertumbuhan dan perkembangan hadis pada
masa kodifikasi hingga masa penyusunan kitab-kitab hadis
Kodifikasi
hadis pada masa Umar ibn Abd al-Aziz (99-101H), menurut Muhammad al-Zafzaf, di
latar belakangi oleh dua factor , yaitu :
Pertama,
para ulama’ hadis telah tersebar ke berbagai negeri, dikhawatirkan hadis akan
hilang bersama wafatnya mereka, sementara generasi penerus di perkirakan tidak
menaruh perhatian terhadap hadis.
Kedua,
banyak berita yang di ada-adakan oleh orang-orang yang suka berbuat bid’ah
seperti khawarij, Rafidhah, Syi’ah,dan lain-lain. Yang berupa hadis palsu
(mawdhu’).
Latar
belakang adanya kebijaksanaan mengkodifikasi hadis disebabkan, ia
khawatir hilangnya hadis-hadis, dengan meninggalnya para ulama di medan perang
dan peranan para ulama pada saat sebelumnya bukan hanya mengajarkan agama saja,
melainkan turut ke dalam medan perang, lalu ia khawatir akan tercampurnya
antara hadis-hadis yang shahih dengan hadis-hadis palsu, dan ia khawatir dengan
semakin meluasnya daerah kekuasaan islam ada ketidak sesuaian dengan kemampuan
para tabiin sebab antara kemampuan satu tabiin dengan yang lainnya tidak sama,
dengan masalah diatas, sangat jelas memerlukan adanya usaha kodifikasi ini.
Jadi,
bisa kita pahami bahwa usaha kodifikasi ini dilakukan agar tidak punahnya
hadis-hadis yang telah di riwayatkan sejak zaman Rasul saw. Apalagi dengan
banyaknya para penghafal hadis yang gugur di medan perang, dan perang ini
memiliki tujuan untuk memperluas negara islam yang sekaligus mengajarkan agama
islam termasuk mengajarkan Al-quran dan Hadis.
B. Proses pertumbuhan dan perkembangan hadis pada Masa Kodifikasi hingga masa
penyusunan kitab-kitab hadis
Masa keempat: Dikala kendali khalifah dipegang oleh ‘Umar
ibn Abdul Aziz yang dinobatkan dalam
tahun II H seorang khalifah dari dinasti Amawiyah tergeraklah keinginan untuk
membukukan hadis. Para ulama abad kedua membukukan hadis
tanpa menyaringnya, yakni mereka tidak hanya membukukan hadis-hadis saja,
tetapi fatwa-fatwa para sahabatpun dimasukan ke dalam bukunya. Oleh karena itu,
dalam kitab-kitab itu masih terdapat hadis-hadis marfu’, mauquf, dan
maqhtu’.
Masa kelima: masa mentashilkan hadis dan menyaringnya
(abad ketiga hingga akhir). Menerima hadis dari para perawi, lalu menulis
kedalam bukunya, dan tidak mengadakan syarat-syarat menerimanya dan tidak
memperhatikan shahih atau tidaknya. Ulama-ulama
hadis dalam mengumpulkan hadis, mereka pun berani mulai memalsukan hadis dan
berusaha menambahkan lafalnya atau membuat hadits maudlu’.
Masa
keenam: masa menapis kitab-kitab hadis dan menyusun kitab-kitab jami’ yang
khusus (dari awal abad keempat hingga jatuhnya Baghdad tahun 656 H). Kegiatannya
mengumpulkan Hadis Al-Bukhari/ Muslim dalam sebuah kitab, Mengumpulkan hadis
dalam enam kitab, Mengumpulkan hadis yang terdapat dalam berbagai kitab, Mengumpulkan hadis-hadis hukum dan menyusun
kitab-kitab ‘Athraf, Istikhraj adalah mengambil sesuatu hadits dari sahih
Bukhory Muslim umpamanya, lalu meriwayatkannya dengan sanad sendiri, yang lain
dari sanad Bukhary atau Muslim karena tidak memperoleh sanad sendiri. Contoh :
Mustakhraj shahih bukhari oleh Jurjani, dan Mustakhraj Sahih Muslim Oleh Abu
Awanah & istidrak adalah
mengumpulkan hadits-hadits yang memiliki syarat-syarat Bukhary dan Muslim atau
syarat salah seorangnya yang kebetulan tidak diriwayatkan atau di sahihkan oleh
keduanya. Contoh : Al-Mustadrak ‘ala-Shahihaini oleh Imam Abu Abdullah Muhammad
bin Abdullah al-Hakim an-Naisaburi ( 321 – 405 H ).
Masa ketujuh: masa membuat syarah, membuat kitab-kitab
takhrij, mengumpulkan hadis-hadis hukum dan membuat kitab-kitab jami’ yang umum
serta membahas hadis-hadis zawa-id (656 H hingga dewasa ini).
BAB IV
PENUTUP
Dalam
selesainya penyusunan makalah ini, kami dapat menghasilkan:
A.
Kesimpulan
1. Ada tiga hal pokok mengapa khalifah ‘Umar bin Abd al-Aziz mengambil
kebijaksanaan mengumpulkan hadits. Pertama, ia khawatir hilangnya
hadits-hadits, dengan meninggalnya para ulama di medan perang. Sebab peranan
para ulama pada saat sebelumnya bukan hanya mengajarkan agama, melainkan turut
ke dalam medan perang. Kedua, ia khawatir akan tercampurnya antara
hadis-hadis yang shahih dengan hadis-hadis palsu. Ketiga, semakin
meluasnya daerah kekuasaan islam, sementara kemampuan para tabiin antara satu
dengan yang lainnya tidak sama, jelas sangat memerlukan adanya usaha kodifikasi
ini.[27]
2. Masa
keempat: masa
pembukuan hadis (dari permulaan abad kedua H – hingga akhir abad kedua). Masa
kelima: masa mentashilkan hadis dan menyaringnya (abad ketiga hingga
akhir). Masa keenam: masa menapis kitab-kitab hadis dan menyusun
kitab-kitab jami’ yang khusus (dari awal abad keempat hingga jatuhnya Baghdad
tahun 656 H). Masa ketujuh: masa membuat syarah, membuat kitab-kitab
takhrij, mengumpulkan hadis-hadis hukum dan membuat kitab-kitab jami’ yang umum
serta membahas hadis-hadis zawa-id (656 H hingga dewasa ini).
B.
Saran
1.
Memberikan
kritikan dan masukkan yang membangun untuk kebaikan dalam pembuatan makalah
selanjutnya.
2. Mempertahankan pembuatan makalah yang
lengkap seperti yang dituntut dalam mata kuliah ulumul hadis.
DAFTAR PUSTAKA
A.
Buku, Artikel, Makalah dan lain-lain:
Hasbi
Ash Shiddieqy, “Sejarah Perkembangan Hadits” Bulan Bintang: Jakarta, Tahun
1988.
Khon
Abdul Majid, “Ulumul Hadits”, Amzah : Jakarta, Tahun 2009.
Mudasir,
“Ilmu Hadis” Pustaka Setia, Bandung, Tahun 2008
Muhammad
Hasbi Ash Shiddieqy, Teungku, “Sejarah & Penghantar Ilmu Hadis” Pustaka
Rizki Putra, Semarang, Tahun 1992
Muhammad
Hasbi Ash Shiddieqy, Teungku, “Sejarah & Penghantar Ilmu Hadits Edisi
Baru” Pustaka Rizki Putra, Semarang, Tahun 2009
Sahrani,
Sohari, “Ulumul Hadits” Ghalia Indonesia, Bogor, Tahun 2010
Sumarna,
Cecep, Yusuf Saefullah, “Penghantar Ilmu Hadis” Bani Quraisy, Bandung, Tahun
2004
Suparta,
Munzier, “Ilmu Hadis” Raja Grafindo Persada, Jakarta, Tahun 2011
Suparta,
Munzier, Untung Ranuwijaya, “Ilmu Hadis” PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, Tahun 1993
Suyadi,
Agus, Agus Solahudin, “Ulumul Hadis” Pustaka Setia, Bandung, Tahun 2011
B.
Website:
http://riuisme.wordpress.com/2010/02/27/kodifikasi-hadith/ ( diunduh selasa, 02-04-2013, pukul 20:36 WIB)
http://arifah.wordpress.com/2011/02/04/kodifikasi-hadith/ (diunduh selasa, 02-04-2013, pukul 20:21 WIB)
http://amarsuteja.blogspot.com/2013/01/kodifikasi-hadist.html (diunduh selasa, 02-04-2013, pukul 20:30 WIB)
http://amarsuteja.blogspot.com/2013/01/kodifikasi-hadist.html (diunduh selasa, 02-04-2013, pukul 20:33 WIB)
http://amarsuteja.blogspot.com/2013/01/kodifikasi-hadist.html (diunduh selasa, 02-04-2013, pukul 20:33 WIB)
http://amarsuteja.blogspot.com/2013/01/kodifikasi-hadist.html (diunduh selasa, 02-04-2013, pukul 20:13 WIB)
http://amarsuteja.blogspot.com/2013/01/kodifikasi-hadist.html (diunduh selasa, 02-04-2013, pukul 20:33 WIB)
http://amarsuteja.blogspot.com/2013/01/kodifikasi-hadist.html (diunduh selasa, 02-04-2013, pukul 20:13 WIB)
http://amarsuteja.blogspot.com/2013/01/kodifikasi-hadist.html (diunduh rabu, 03-04-2013, pukul 07:40 WIB)
[1] Sohari
Sahrani, Ulumul Hadis, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), Hlm. 65.
[2]
http://riuisme.wordpress.com/2010/02/27/kodifikasi-hadith/ ( diunduh selasa, 02-04-2013, pukul 20:36 WIB)
[3] http://arifah.wordpress.com/2011/02/04/kodifikasi-hadith/ (diunduh
selasa, 02-04-2013, pukul 20:21 WIB)
[4]
http://amarsuteja.blogspot.com/2013/01/kodifikasi-hadist.html (diunduh
selasa, 02-04-2013, pukul 20:30 WIB)
[5] http://amarsuteja.blogspot.com/2013/01/kodifikasi-hadist.html (diunduh
selasa, 02-04-2013, pukul 20:33 WIB)
[6] Mudasir, “Ilmu Hadis” (Bandung : Pustaka Setia, 2008), Hlm.
106.
[7] http://amarsuteja.blogspot.com/2013/01/kodifikasi-hadist.html (diunduh
selasa, 02-04-2013, pukul 20:33 WIB)
[8] http://amarsuteja.blogspot.com/2013/01/kodifikasi-hadist.html (diunduh
selasa, 02-04-2013, pukul 20:13 WIB)
[9]
Sohari Sahrani,
Ulumul Hadis, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), Hlm. 67.
[10]
Agus Suyadi, Agus Solahudin, Ulumul Hadis, (Bandung: Pustaka Setia,
2011),Hlm. 38.
[11]
Ibid. Hlm. 41.
[12]
Agus Suyadi, Agus Solahudin, op.cit. hlm. 43.
[13]
Mudasir, op.cit.
hlm. 110
[14]
Agus Suyadi, Agus Soalhudin, op.cit. hlm. 45.
[15] Ibid. Hlm. 45.
[16]
Ibid. Hlm. 46-47.
[17]
Ibid. Hlm. 47.
[18]
http://amarsuteja.blogspot.com/2013/01/kodifikasi-hadist.html (diunduh rabu,
03-04-2013, pukul 07:35 WIB)
[19]
http://amarsuteja.blogspot.com/2013/01/kodifikasi-hadist.html (diunduh rabu,
03-04-2013, pukul 07:40 WIB)
[20]
Muhammad Hasbi
Ash Shiddieqy, Teungku, “Sejarah & Penghantar Ilmu Hadis” (Semarang:
Pustaka Rizki Putra, 1992), hlm. 106.
[21]
Ibid. Hlm.
107.
[22]
Ibid. Hlm.
108.
[23]
Ibid. Hlm.
110.
[24]
Ibid. Hlm. 111
[25]
Ibid. Hlm.
111.
[26]
Ibid. Hlm. 112.
2 komentar:
terima kasih. Catatn anda cukup membantu saya untuk mengerjakan tugas", hehe...
Makasi Mbak ;)
numpang lewat
Posting Komentar