Selasa, 14 Mei 2013

Hadis Masa Koodifikasi


BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang Masalah
Berbicara mengenai hadits, pastilah kita akan langsung mengarah kepada Nabi Muhammad SAW karena beliau adalah sebaik-baiknya makhluk. Banyak sikap dan perilaku beliau yang sangat mulia, baik itu dalam segi perkataan, perbuatan, dan ketetapannya. Semua perilaku beliau sangat mulia oleh karena itu, sudah sepatutnya kita tiru selaku umat beliau. Beliau adalah seorang utusan yang dipilih oleh Allah untuk mengemban ajaran dan sekaligus menyeru kepada seluruh umat manusia untuk taat dan patuh kepada Allah. Sebagai Rasul beliau mempunyai karomah yang sangat luar biasa dibanding dengan manusia lainnya.
Nabi Muhammad  SAW telah mewariskan kepada kita dua landasan pokok yang dijadikan pedoman oleh umat manusia dalam menjalani kehidupannya disunia hingga nanti akhirat kelak. Kedua sumber ini diyakini oleh umat Islam sebagai ajaran Islam yang wajib untuk dijadikan sebagai pedoman yaitu Al-Qur’an dan Hadits.
Dalam makalah ini kita akan membahas mengenai pen-tadwin-an hadits. Hadits yang kita temui sekarang sudah mengalami perubahan yang sangat signifikan dan sudah menempuh perjalanan yang sangat panjang. Hadits sejak zaman Rasul saw hingga Tabiin belum ada kegiatan pengkodifikasian hadits. Tetapi yang kita temui sekarang sudah dalam berbentuk buku dan sebagian orang mungkin hanya menggunakan hadisnya saja tanpa mengetahui sejarahnya bisa dilakukan kodifikasi.
Kodifikasi atau tadwin hadis artinya pencatatan, penulisan, atau pembukuan hadis.[1] Kegiatan kodifikasi ini secara resmi dilakukan berdasarkan perintah khalifah, dengan melibatkan beberapa personil yang ahli dalam masalah ini, bukan dilakukan secara perorangan atau untuk kepentingan pribadi, seperti yang terjadi pada masa-masa sebelumnya.

B.   Rumusan Masalah
1.     Apa faktor - faktor yang melatarbelakangi pertumbuhan dan perkembangan hadis pada masa kodifikasi hingga masa penyusunan kitab-kitab hadis? 
2.     Bagaimana proses pertumbuhan dan perkembangan hadis pada Masa Kodifikasi hingga masa penyusunan kitab-kitab hadis?

C.     Tujuan Penulisan Masalah
1.     Untuk mengetahui sejarah tentang pembukuan hadis.
2.     Untuk mengetahui perkembangan hadis.
3.     Untuk mengetahui kitab-kitab hadis di periode tertentu.
4.     Untuk mengetahui peran khalifah dalam pembukuan hadis.

D.   Manfaat Penulisan Makalah
1.     Agar mahasiswa/i mengetahui mengenai sejarah pembukuan hadis.
2.     Agar mahasiswa/i mengetahui perkembangan hadis.
3.     Agar mahasiswa/i mengetahui kitab-kitab hadis yang dibuat pada periode tertentu.
4.     Agar mahasiswa/i mengetahui peran khalifah dalam pembukuan hadis.





BAB II
TINJAUAN TEORI

A.    Definisi Kodifikasi Hadis
1.     Definisi Kodifikasi Secara Etimologi
Di dalam penulisan hadis Nabi saw sejak beliau masih hidup sampai dengan khalifah Umar bin Abdul Azis sering muncul istilah-istilah: Al-Khitabah, At-Tadwin dan Al-Tasnif .
Al-kitabah secara etimlogi berasal dari bahasa Arab yang artinya penulisan. Sedang menurut etimologi al-Kitabah mempunyai arti penulisan hadis secara pribadi. Seperti penulisan hadis yang terjadi sejak Nabi saw, Khulafa al-Rasyidin sampai pada masa Umar bin Abdul Azis. Diantara sahabat yang telah menulis hadis adalah Abdullah bin Amr bin As (27 SH-63 H) dengan kumpulan hadis Shahifah As-Shadiqah, Shahifah Jabir bin Abdillah yang ditulis oleh Jabir bin Abdillah bin Amr Al Anshari (16 SH-78 H) yang masih utuh sampai zaman tabi’in, Anas bin Malik (10 SH – 93 H), ash-Sahahifah ash-Sahihah yang disusun oleh Abu Hurairah ad-Dausi (19 SH-59 H) maupun Ali bin Abi Thalib (23 SH-40 H).
At-Tadwin artinya kodifikasi (pembukuan)/pencatatan. Sedangkan menurut terminologi al-tadwin artinya pengumpulan dan penyusunan hadis yang secara resmi didasarkan perintah khalifah dengan melibatkan beberapa personil, yang ahli dalam masalah ini, bukan yang dilakuan secara peseorangan seperti yang terjadi di masa-masa sebelumnya. Seperti pada saat Umar bin Abdul Azis menjadi khalifah pada tahun 99-101 H kemudian tahun 100 H meminta Gubernur Madinah Abu Bakar bin Muhammad bin Amir bin Hazm supaya membukukan hadis Rasul yang terdapat pada para penghafal Amrah bin Abdi Rahman Al-Anshariyah dan Al Qosim bin Muhammad bin Abi Bakr Ash Shiddieq dan juga kepada Ibnu Syihab az-Zuhri.
At-Tasnif artinya klasifikasi, kategorisasi menurut istilah mengandung makna usaha menghimpun atau menyusun beberapa hadis (kitab hadis) dengan membubuhi keterangan mengenai arti kalimat yang sulit-sulit dan memberi interpretasi sekedarnya. Jika dalam memberikan interpretasi itu dengan jalan mempertalikan atau menghubungkan dan menjelaskan dengan hadis lain, dengan ayat-ayat Al-Qur’an atau dengan ilmu-ilmu lain maka disebut dengan ilmu Sharah dan meringkas. At-Tasnif ini muncul pada abad ke V dan seterusnya yaitu abad periodisasi klasifikasi dan sistematisasi susunan kitab-kitab hadis.[2]
Kodifikasi atau tadwin hadith secara resmi di sinonimkan dengan tadwin al hadith Rasmiyan, tentunya akan berbeda dengan penulisan hadith atau kitabah al hadith. Secara etimologi kata kodifikasi berasal kata codification yang berarti penyusunan menurut aturan/ sistem tertentu.[3] Atau dari kata tadwin dapat berarti perekaman (recording), penulisan (writing down), pembukuan (booking), pendaftaran (listing, registration). Lebih dari itu, kata tadwin juga berarti pendokumentasian, penghimpunan atau pengumpulan serta penyusunan. Maka kata tadwin tidak semata- mata berarti penulisan, namun ia mencakup penghimpunan, pembukuan dan pendokumentasian.

2.     Definisi Kodifikasi Secara Terminologi
Secara istilah, kodifikasi adalah penulisan dan pembukuan hadis nabi secara resmi berdasarkan perintah khalifah dengan melibatkan beberapa personel yang ahli dalam masalah ini, bukan yang di lakukan secara perseorangan atau untuk kepentingan pribadi. Dengan kata lain, ta’win al-hadis (kodifikasi hadis)adalah penghimpunan, penulisan, dan pembukuan hadis nabi atas perintah resmi dari penguasa Negara (khalifah)bukan di lakukan atas inisiatif perorangan atau untuk keperluan pribadi.[4]

B.     Latar Belakang Terjadinya Usaha Kodifikasi Hadits
Faktor-faktor pendorong kodifikaasi hadis
Kodifikasi hadis pada masa Umar ibn Abd al-Aziz (99-101H), menurut Muhammad al-Zafzaf, di latar belakangi oleh dua factor , yaitu :
Pertama, para ulama’ hadis telah tersebar ke berbagai negeri, dikhawatirkan hadis akan hilang bersama wafatnya mereka, sementara generasi penerus di perkirakan tidak menaruh perhatian terhadap hadis.
Kedua, banyak berita yang di ada-adakan oleh orang-orang yang suka berbuat bid’ah seperti khawarij, Rafidhah, Syi’ah,dan lain-lain. Yang berupa hadis palsu (mawdhu’).[5]
Ada tiga hal pokok mengapa khalifah ‘Umar bin Abd al-Aziz mengambil kebijaksanaan mengumpulkan hadits. Pertama, ia khawatir hilangnya hadits-hadits, dengan meninggalnya para ulama di medan perang. Sebab peranan para ulama pada saat sebelumnya bukan hanya mengajarkan agama, melainkan turut ke dalam medan perang. Kedua, ia khawatir akan tercampurnya antara hadis-hadis yang shahih dengan hadis-hadis palsu. Ketiga, semakin meluasnya daerah kekuasaan islam, sementara kemampuan para tabiin antara satu dengan yang lainnya tidak sama, jelas sangat memerlukan adanya usaha kodifikasi ini.[6]

Fakto-faktor penyebab di lakukannya kodifikasi hadis tersebut dapat di klasifikasikan menjadi dua:
·       Factor internal berupa:[7]
1.     Pentingnya menjaga autentisitas dan eksitensi hadis, karena hadis di samping sebagai sumber agama islam yang ke dua setelah al-qur’an,juga merupakan panduan bagi umat islam dalam menjalankan kehidupan sehari-hari.
2.     Semangat untuk menjaga hadis, sebagai salah satu warisan nabi yang sangat berharga karena nabi memang pernah bersabda bahwa beliau meninggalkan dua hal yang jika uamat islam perpegang keduannyamereka tidak akan tersesat selamanya, yaitu al-qur’an dan hadis Nabi.(HR.al-Hakim al-Naysaburi).
3.     Semangat keilmuan yang tertanam di kalangan umat islam saat itu termasuk di dalamnya aktifitas tulis menulis dan periwayatan hadis.
4.     Adanya kebolehan dan izin untuk menulis hadis  pada saat itu.
5.     Para penghafal dan priwayat hadis semakin berkurang karena meninggal dunia baik di sebabkan adanya peperangan maupun yang lainnya.
6.     Rasa bangga dan puas ketika mampu menjaga hadis Nabi dengan menghafal dan kemudian Meriwatkannya.
·       Factor ekternal berupa:[8]
1.   Penyebaran islam dan semakin meluasnya daerah kekuasaan islam, sehingga banyak periwayat hadis yang tersebar ke berbagai daerah.
2.   Kemunculan dan meluasnya pemalsuan hadis yang di sebabkan antara lain oleh perbedaan politikdan aliran.
Tidak sedikit hadis yang mereka buat dapat meluluhlantakkan fondasi-fondasi islam, sehingga bila tidak di lakukan klasifikasi dan koleksi, dapat berakibat pada kehancuran ajaran islam pada umumnya.

C.     Gerakan Menulis Hadits Pada Kalangan Tabi’in dan Tabi’at Tabi’in
Seorang ulama berhasil menyusun kitab tadwin yang bisa diwariskan kepada generasi sekarang, yaitu Malik bin Anas (w. 93-179 H) di Madinah, dengan kitabnya yang berjudul Al-Muwatha’. Kitab tersebut disusun pada tahun 143 H dan para ulama menilainya sebagai kitab tadwin yang pertama.
Pen-tadwin­-an berikutnya dilakukan oleh Muhammad Ibn Ishaq (w. 151 H) di Madinah, Ibnu Juraij (80-150 H) di Mekah, Ibnu Abi Zibin (80-150 H) di Madinah, Ar-Rabi’ bin Sabiih (w. 160 H) di Basrah, hammad bin Salamah (w. 176 H) di Basrah, Sufyan Ats-Tsauri (97-161 H) di Kuffah, Al-Auzai (88-157 H) di Syam, Ma’amar bin Rasyid (93-153 H) di Yaman, Ibn Al-Mubarak (118-181 H) di Khurasan, Abdullah bin Wahab (125-197 H) di Mesir dan Jarir Ibnu Abd Al-Hamid (110-188 H) di Rei.[9]    

D.   Hadits dalam Periode Keempat (Masa Pembukuan dan Pengumpulan Hadis)
Sudah dapat dipastikan bahwa sejak abad pertama Hijriah, mulai dari dari zaman Rasulullah SAW, masa Khulafa Rasyidin dan sampai pada akhir abad petama hijriah, hadis-hadis itu masih diperhatikan dengan menggunakan metode penghafalan atau dari mulut ke mulut masing-masing perawi meriwayatkan berdasarkan kekuatan hafalannya. Dan pada waktu itu belum terdorong untuk membukukan hadis karena pada masa itu mereka terkenal kuat hafalannya .
Sehingga masa pembukuan hadis secara resmi dimulai sejak awal abad ke II H.[10] Dikala kendali khalifah dipegang oleh ‘Umar ibn Abdul Aziz yang  dinobatkan dalam tahun II H seorang khalifah dari dinasti Amawiyah yang terkenal adali dan wara’, sehingga beliau dipandang sebagai Khalifah Rasyidin yang ke lima, tergeraklah keinginan untuk membukukan hadis, karena beliau sadar bahwa perawi hadis yang mendapat julukan bendaharawan hadis, lambat laun banyak yang meninggal dunia. Beliau khawatir apabila tidak segera dibukukan  dan dikumpulkan dalam buku-buku hadis dari para perawinya, mungkinlah hadis-hadis itu akan lenyap dari permukaan bumi dibawa bersama oleh para penghafalanya ke alam barzakh.
Umar lalu mengirimkan surat permintaannya itu dalam membukukan hadis kepada gubernur Madinnah yaitu; Abu Bakar ibn Muhammad ibn Amer ibn Hazmin (120 H). Di samping itu umar mengirimkan surat-suratnya kepada gubernur setara wilayah yang dibawah kekuasaannya supaya berusaha membukukan hadis hadits yang ada pada ulama yang diam di wilayah mereka masing-masing di antara ulama besar yang membukukan hadis atas kemauan khalifah itu ialah: Abu Bakar Muhammad ibn Muslim ibn Ubaidillah ibn Syihab Zuhry,  seorang tabi’in yang ahli dalam urusan fiqh dan hadis.
Para ulama abad kedua membukukan hadis tanpa menyaringnya, yakni mereka tidak hanya membukukan hadis-hadis saja, tetapi fatwa-fatwa para sahabatpun dimasukan ke dalam bukunya. Oleh karena itu, dalam kitab-kitab itu masih terdapat hadis-hadis marfu’, mauquf, dan maqhtu’. Kitab-kitab hadis yang telah dibukukan dan dikumpulkan dalam abad kedua ini, jumlahnya banyak. Akan tetapi, yang terkenal dikalangan hadis adalah:
1.     A-Muwaththa’, susunan Imam Malik (95-179 H).
2.     Al-Maghazi wal Siyar, susunan Muhammad ibn Ishaq (150 H).
3.     Al-Mushannaf, susunan Al-Auza’i (150 H).
4.     Al-Mushannaf, susunan Sy’bah Ibn Hajjaj (160 H).
5.     Al-Mushannaf, susunan Al-Laits Ibn Sa’ad (175 H).
6.     Al-Mushannaf, susunan Sufyan Ibn ‘Uyainah (198 H).
7.     Al-Mushannaf, susunan Abdul Razzaq As-San’any (211 H).
8.     Al-Mushannaf,susunan Al-Humaidy (219 H).
9.     Al-Maghazi Nabawiyah,susunan Muhammad Ibn waqid Al-Aslamy.
10.  Al-Musnad,susunan Abu Hanifah (150 H).
11.  Al-Musnad, susunan Al-Iman Asy-Syafi’i (204 H).
12.  Al-Musnad, susunan Al-Iman Zaid Ibn Ali.
13.  Mukhtalif Al-Hadis,susunan Al-Imam Asy-Syafi’i.[11]
Keadaan seperti ini menyebabkan sebagian ulama mempelajari keadaan rawi-rawi hadis dan dalam masa ini rawi-rawi banyak yang lemah.

E.   Hadits dalam Periode Kelima (Masa Pentashilan)
Mula-mulanya kebanyakan ulama Islam mengumpulkan hadis-hadis yang terdapat di kota mereka masing-masing. Sebagian kecil saja diantara mereka yang pergi jauh ke kota lain untuk kepentingan hadis. Namun beda halnya dengan Al-Bukhari  yang mula-mulanya dengan sengaja pergi jauh ke kota-kota lain untuk mencari hadis, beliau sampai pergi ke Rei, Damsyik, Qaisariyah, Asqalan , Himsah, Kuffah, Makkah, Madinah, Mesir, Baghdad, Bashrah, Maru dan Naisabur. Beliau mengumpulkan hadis yang tersebar di daerah-daerah terebut selama enam belas tahun lamanya untuk menyiapkan sebuah kitab shahihnya.
Pada awalnya ulama-ulama Islam menerima hadis dari para perawi, lalu menulis kedalam bukunya, dan tidak mengadakan syarat-syarat menerimanya dan tidak memperhatikan shahih atau tidaknya. Musuh yang berkedok Islam pun menyaksikan para ulama-ulama hadis dalam mengumpulkan hadis, mereka pun berani mulai memalsukan hadis dan berusaha menambahkan lafalnya atau membuat hadits maudlu’.
Melihat betapa keseriusannya para musuh Islam ini dalam mengacaukan hadis, para ulama hadis membahas keadaan perawi-perawi dari berbagai segi:  keadilan, tempat kediaman, masa dan lain sebagainya, para ulama hadis pada waktu iiu berusaha memisahkan hadis shahih dari dha’if  yakni men-tashhih-kan hadits.
Al-Bukhari menyusun kiab-kitabnya dengan nama Al-Jamius Shahih. Di dalam kitabnya ia hanya membukukan yang dianggap shahih, lalu hal ini diikuti oleh Muslim. Sesudah Shahih Bukhari dan Shahih Muslim bermunculanlah imam-imam mengikuti jejak Bukhari dan Muslim, diantaranya Abu Dawud, At-Tirmidzi dan An-Nasa’i yang kemudian dikenal oleh masyarakat dengan judul Al-Ushul Al-Khamsyah (lima kitab hadis yang pokok).
Di samping itu, Ibnu Majah menyusun Sunan-nya. Kitab Sunan ini kemudian diolongkan oleh para ulama ke dalam kitab-kitab induk sehingga kitab-kitab induk itu menjadi enam buah, yang kemudian dikenal dengan nama Al-Kutub Al-Sittah’.[12]
      Secara lengkap kitab-kitab yang enam diurutkan, sebagai berikut: [13]
1.     Al-Jami Ash-Shahih susunan Al-Bukhari.
2.     Al-Jami Ash-Shahih susunan Muslim.
3.     As-Sunan susunan Abu Dawud.
4.     As-Sunan susunan Tirmidzi.
5.     As-Sunan susunan Nasai.
6.     As-Sunan susunan Ibnu Majah.

F.   Hadis dalam Periode Keenam (Dari awal abad IV hingga Tahun 656 H)
Periode keenam ini dimulai dari abad keempat hingga tahun 656H, yaitu pada masa ‘Abasiyyah angkatan kedua. Periode ini dinamakan Ashru At-Tahdib wa At-Tartibi wa Al-Istidraqi wa Al-Jami’.[14] Ulama-ulama hadis dalam abad kedua dan ketiga, digelari mutaqaddimin, yang mengumpulkan hadis dengan semata-mata berpegang kepada usaha sendiri dan pemeriksaan sendiri, dengan menemui para penghafalanya yang tersebar di setiap pelosok dan penjuru negara Arab, Parsi dan lain-lainnya.
Maka setelah abad ke ketiga berlalu bangkitlah pujangga-pujangga abad ke empat. Para ulama abad keempat ini dan seterusnya digelari ‘Mutaakhirin.[15] Diantara usaha-usaha ulama hadis yang terpenting dalam periode ini adalah:
1.     Mengumpulkan Hadis Al-Bukhari/Muslim dalam sebuah kitab. Diantara kitab yang mengumpulkan hadis-hadis Al-Bukhari dan Muslim adalah kitab Al-Jami’ Bain Ash-Shahihani oleh Ismai Ibn Ahmad yang terkenal dengan nama Ibnu Al-Furat (414 H).
2.     Mengumpulkan hadis dalam enam kitab.
Diantara kitab yang menggumpulkan hadis-hadis kitab enam adalah Tarjidu As-Shihah oleh Razin Mu’awiyah.
3.     Mengumpulkan hadis yang terdapat dalam berbagai kitab. Diantara kitab yang mengumpulkan hadis-hadis dari berbagai kitab adalah:
1)     Mashabih As-Sunnah oleh Imam Husain Ibn Mas’ud Al-Baghawi (516 H).
2)     Jami’ul Masanid wal Alqab oleh Abdur Rahman ibn Ali Al-Jauzu (597 H).
4.     Mengumpulkan hadis-hadis hukum dan menyusun kitab-kitab ‘Athraf. Diantaranya kitab-kitab yang mengumpulkan hadis hukum adalah:
1)     Muntaqa Akhbar, oleh Majduddin ibn Taimiyah Ak-Harrany (652 H)
2)     Al-Ahkamus Sughra, oleh Al-Hafidz Abu Muhammad Abdul Haqq As-Asybily (Ibnu Kharrat) (582 H)[16]

Pada masa ini timbul usaha-usaha istikhraj,umpanya mengambil hadis dari Bukhari Muslim, lalu meriwayatkannya dengan sanad sendiri yang lain dari sanad Al-Bukhari atau Muslim. Diantaranya Mustakhraj untuk Shahih Al-Bukhari adalah Mustakhraj Shahih Bukhari oleh Hafidh Al-Jurjany.
Pada periode ini muncul pula usaha istidrak, yakni mengumpulkan hadis-hadis yang memiliki syarat-syarat Bukhari dan Muslim atau salah satunya yang kebetulan tidak diriwayatkan atau di shahihkan oleh Bukhari dan Muslim. Kitabnya dinamai mustadrak. Diantaranya Al-Mustadrak oleh Abu Dzar Al-Harawy.[17]
Pada abad kelima dan keenam dititik beratkan pada usaha memperbaiki susunan kitab atau mengklasifikasikan hadis dengan menghimpun hadis-hadis yang sejenis kandunganya atau sifat-sifatnya kedalam satu kitab. Kemudian mereka mensyarahkan (menguraikan dengan luas) dan mengikhtisarkan (meringkaskan) kitab-kitab hadis yang disusun oleh ulama’ pendahulunya.[18]

G.  Hadis dalam Periode Ketujuh (dari Abad ke-7 – Abad ke-10)
India memegang peranan penting dalam perkembanngan hadist. Mulai dari Baghdad dihancurkan oleh Hulagu Khan, berpindahlah kegiatan perkembangan hadis ke India. Saat itu banyak kitab-kitab hadis yang berkembang dalam masyarakat umat islam dengan usaha penertiban yang dilakukan oleh ulama-ulama India. Merekalah yang menerbitkan kitab “Ulumul Hadis” karangan Al-Hakim.[19]
Cara yang ditempuh oleh ulama-ulama pada periode ini menertibkan isi kitab-kitab hadis, menyaringnya dan menyusun kitab-kitab takhrij, serta membuat kitab-kitab jami’ yang umum, kitab-kitab yang mengumpulkan hadis hukum, mentakhrijkan hadis-hadis yang terkenal dalam masyarakat dan menyusun kitab Athraf.
Kitab-kitab Zawaid
Kitab-kitab Zawaid yaitu kitab yang berisi hadis-hadis yang tidak terdapat dalam kitab-kitab sebelumnya.  Kitab Zawaid Sunan Ibnu Majah, Kitab Ith-Haful Mahrah bi Zawaidil Masanidil ‘Asyrah, Kitab Zawaid As Sunanil Kubra (hadis-hadis yang tak terdapat dalam kitab enam). Ketiga kitab ini disusun oleh Al Bushiry (840 H).
Dinamai kitab Zawaid karena periode ini ulama mengumpulkan hadis-hadis yang tak terdapat dalam kitab-kitab sebelumnya ke dalam sebuah kitab tertentu. Diantara kitab yang terkenal, ialah Kitab Zawaid sunan Ibnu Majah (yakni hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah yang tiada terdapat dalam kitab-kitab yang lain).[20]
Kitab Jawami’ yang umum
Kitab Jawami yang umum yaitu ulama’-ulama’ hadis yang mengumpulkan hadis-hadis yang terdapat dalam beberapa kitab. Seperti Kitab Jami’ul Masanaid was Sunan Al Hadi  li Aqwami Sanan oleh Al Hafidh Ibnu Katsir (9774 H). Berisi kumpulan hadis-hadis Bukhari Muslim, Sunan Nasa’I, Abu Daud At Turmudzi, Ibn Majjah, Musnad Ahmad, Al Bazzar, Abu Ya’la.
Pada periode ini ulama-ulama hadis mengumpulkan pula hadis-hadis yang terdapat dalam beberapa kitab, ke dalam sebuah kitab yang tertentu. Yang termasuk kitab jawami’ yang umum adalah Jami’ul Jawami’, susunan Al Hafidh As Sayuthi (911 H) dalam kitab ini dikumpulkan hadis-hadis kitab enam dan lain-lain yang mengandung banyak hadis dha’if dan maudhu’.
Kitab yang mengumpulkan hadis-hadis hukum
Kitab yang Mengumpulkan Hadis-hadis Hukum, diantaranya seperti Kitab Bulughul Maram mi Ahaditsil  Ahkam, oleh Al hafidh Ibnu Hajar Al Asqalany (852 H). dalam kitab ini terdapat 1400 hadis dan telah disyarahkan oleh banyak ulama’.
Kitab Bulughul Maram min Ahaditsil Ahkam, oleh al-Hafidh Ibnu Hajar al Asqalany (852 H). Kitab ini mengandung 1400 buah hadis yang telah disyarahkan oleh banyak ulama. Diantaranya Al qadli Al Husaun Muhammad ibn Isma’il As San’any (1182 H) dalam kitab bernama Subulus Salam dan Shiddiq Hasan Khan (1307 H) dalam kitab Fathul ‘Allam.[21]
Kitab Takhrij
Kitab Takhrij Hadis yang Terkenal di Masyarakat, yaitu hadis yang terkenal di masyarakat yang memiliki berbagai nilai. Maka ulama’-ulama’ mengumpulkan hadis-hadis itu dalam suatu kitab untuk diterangkan nilai-nilai dan derajat-derajat hadis. Seperti Kitab Tashilus Subul Ila Kasyfillibas oleh ‘Izzuddin Muhamad Ibnu Ahmad Al Khalily (1507 H).
Kitab Takhrij, yakni kitab yang tujuanya untuk menerangkan tentang tempat-tempat pengambilan hadis-hadis dan nilai-nilainya. Karena banyak hadis yang tidak disebut perawinya siapa pentakhrijnya dan tidak pula diterangkan nilainya. Diantara kitab takhrij ini seperti : Takhrij Alhaditsil Baidlawy oleh Abdul Rouf Al Manawy. Takhrij Alhaditsil Ihya oleh Zainuddin Al ‘Iraqy.
Banyak kitab dalam berbagai ilmu yang mengandung hadis yang tidak disebutkan siapakah perawinya dan siapa pentakhrijnya dan tid ak pula diterangkan nilainya. Maka sebagian ulama berusaha menerangkan tempat-tempat pegambilan hadis itu dan nilai-nilainya dalam sebuah kitab tertentu. Diantaranya kitab Takhrij Ahadis Tafsir Al Kasysyaf karangan Al Zaila’y (762 H). Akan tetapi kitab ini tidak mengtajriskan seluruh hadis yang disebut oleh pengarang Al Zaila’y.[22]
Kitab-kitab Athraf
Beberapa orang ulama menyusun kitab-kitab Athraf itu, seperti:
a.      Athraful Musnad Al Mu’tali bi Athrafil Musnadil Hanbaly oleh Ibnu Hajar.
b.     It-haful Maharah Biathrafil ‘Asyarah oleh Ibnu Hajar Al Asqalany.
Inilah usaha periode penting oleh ulama-ulama untuk mengumpulkan hadis dan mencetajnya. Dan dalam periode inilah lahir kitab-kitab syarah hadis-hadis yang besar seperti Fathul Bari, Umudatulari, Irsyadus Sari, dan lain-lain.
Kitab –kitab yang disusun pada abad ke-7 H
Riyadhus Shalihin oleh Al-Iman An Nawawy. Kitab ini telah disyarahkan oleh Ibnu Ruslapn As Shiddiqy dalam kitab Dalilul Falihin
Al Arba’in oleh An Nawawy dan telah disyarahkan oleh banyak ulama. Diantranya Ahmad Hijazy Al Faaryany dalam kitab Al Majalisus Saniyah ‘alal Arba’in An Nawawiyah. [23]
Kitab-kitab yang disususn pada abad ke-8 H
Jami’ul Masanid was Sunan Al Hadi ila aqwami sanan, susunan Al Hafidh Ibnu Katsir (774 H)
Al Ilman fi Ahaditsil Ahkam, susunan Al Iman Ibnu Daqiqil ‘Ied (702 H). Kitab ini telah disyarahkan oleh pengarangnya dalam kitabnya Al Imam.[24]
Kitab-kitab yang disusun pada abad ke-9 H
Majma’uzzawaid wa mamba’ul Fawaid, susunan Al Hafidh Abil Hasan ‘Ali ibn Abi Bakar Ibn Sulaiman Asy Syafi’i Al Haitamy (1303 H)

Bulughul Maram, susunan Al hafidh Al Asqalany. Di dalamnya dikumpulkan sejumlah 1400 hadits. Kitab ini telah disyarahkan oleh beberapa ulama seperti: 1) Subulussalam, oleh Muhammad Ibn Isma’il Ash Shan’any (1128 H) , 2) Fat-hul ‘Allam, oleh Siddiq Hasan Khan (1307 H)[25]

Kitab-kitab yang disusun pada abad ke-10 H
Jum’ul jawami, susunan Al Hafidh As Sayuthy. Di dalamnnya dikumpulkan seluruh hadits kitab enam dan lain-lain tetapi belum sempurna. Di dalamnya banyak tterdapat hadits maudlu’. Kittab ini telah susunannya oleh Alauddin Ali ibn Hisyam Al Hindy (975 H) di dalam kitab kanzul ‘Ummal fi sunanil Aqwali wal Af’al.
Lubabul Hadits, oleh As Sayuthy.
Kitab ini telah disyarahkan oleh Muhammad Nawawy dalam kitab Tanqihul Qaulil Hadits. [26]

BAB III
ANALISIS

A.   faktor - faktor yang melatarbelakangi pertumbuhan dan perkembangan hadis pada masa kodifikasi hingga masa penyusunan kitab-kitab hadis 
Kodifikasi hadis pada masa Umar ibn Abd al-Aziz (99-101H), menurut Muhammad al-Zafzaf, di latar belakangi oleh dua factor , yaitu :
Pertama, para ulama’ hadis telah tersebar ke berbagai negeri, dikhawatirkan hadis akan hilang bersama wafatnya mereka, sementara generasi penerus di perkirakan tidak menaruh perhatian terhadap hadis.
Kedua, banyak berita yang di ada-adakan oleh orang-orang yang suka berbuat bid’ah seperti khawarij, Rafidhah, Syi’ah,dan lain-lain. Yang berupa hadis palsu (mawdhu’).
Latar belakang adanya kebijaksanaan mengkodifikasi hadis disebabkan, ia khawatir hilangnya hadis-hadis, dengan meninggalnya para ulama di medan perang dan peranan para ulama pada saat sebelumnya bukan hanya mengajarkan agama saja, melainkan turut ke dalam medan perang, lalu ia khawatir akan tercampurnya antara hadis-hadis yang shahih dengan hadis-hadis palsu, dan ia khawatir dengan semakin meluasnya daerah kekuasaan islam ada ketidak sesuaian dengan kemampuan para tabiin sebab antara kemampuan satu tabiin dengan yang lainnya tidak sama, dengan masalah diatas, sangat jelas memerlukan adanya usaha kodifikasi ini.
Jadi, bisa kita pahami bahwa usaha kodifikasi ini dilakukan agar tidak punahnya hadis-hadis yang telah di riwayatkan sejak zaman Rasul saw. Apalagi dengan banyaknya para penghafal hadis yang gugur di medan perang, dan perang ini memiliki tujuan untuk memperluas negara islam yang sekaligus mengajarkan agama islam termasuk mengajarkan Al-quran dan Hadis.

B. Proses pertumbuhan dan perkembangan hadis pada Masa Kodifikasi hingga masa penyusunan kitab-kitab hadis
Masa keempat: Dikala kendali khalifah dipegang oleh ‘Umar ibn Abdul Aziz yang  dinobatkan dalam tahun II H seorang khalifah dari dinasti Amawiyah tergeraklah keinginan untuk membukukan hadis. Para ulama abad kedua membukukan hadis tanpa menyaringnya, yakni mereka tidak hanya membukukan hadis-hadis saja, tetapi fatwa-fatwa para sahabatpun dimasukan ke dalam bukunya. Oleh karena itu, dalam kitab-kitab itu masih terdapat hadis-hadis marfu’, mauquf, dan maqhtu’.
Masa kelima: masa mentashilkan hadis dan menyaringnya (abad ketiga hingga akhir). Menerima hadis dari para perawi, lalu menulis kedalam bukunya, dan tidak mengadakan syarat-syarat menerimanya dan tidak memperhatikan shahih atau tidaknya. Ulama-ulama hadis dalam mengumpulkan hadis, mereka pun berani mulai memalsukan hadis dan berusaha menambahkan lafalnya atau membuat hadits maudlu’.
 Masa keenam: masa menapis kitab-kitab hadis dan menyusun kitab-kitab jami’ yang khusus (dari awal abad keempat hingga jatuhnya Baghdad tahun 656 H). Kegiatannya mengumpulkan Hadis Al-Bukhari/ Muslim dalam sebuah kitab, Mengumpulkan hadis dalam enam kitab, Mengumpulkan hadis yang terdapat dalam berbagai kitab,  Mengumpulkan hadis-hadis hukum dan menyusun kitab-kitab ‘Athraf, Istikhraj adalah mengambil sesuatu hadits dari sahih Bukhory Muslim umpamanya, lalu meriwayatkannya dengan sanad sendiri, yang lain dari sanad Bukhary atau Muslim karena tidak memperoleh sanad sendiri. Contoh : Mustakhraj shahih bukhari oleh Jurjani, dan Mustakhraj Sahih Muslim Oleh Abu Awanah &  istidrak adalah mengumpulkan hadits-hadits yang memiliki syarat-syarat Bukhary dan Muslim atau syarat salah seorangnya yang kebetulan tidak diriwayatkan atau di sahihkan oleh keduanya. Contoh : Al-Mustadrak ‘ala-Shahihaini oleh Imam Abu Abdullah Muhammad bin Abdullah al-Hakim an-Naisaburi ( 321 – 405 H ).
Masa ketujuh: masa membuat syarah, membuat kitab-kitab takhrij, mengumpulkan hadis-hadis hukum dan membuat kitab-kitab jami’ yang umum serta membahas hadis-hadis zawa-id (656 H hingga dewasa ini).
 
BAB IV
PENUTUP

Dalam selesainya penyusunan makalah ini, kami dapat menghasilkan:

A.      Kesimpulan
1.     Ada tiga hal pokok mengapa khalifah ‘Umar bin Abd al-Aziz mengambil kebijaksanaan mengumpulkan hadits. Pertama, ia khawatir hilangnya hadits-hadits, dengan meninggalnya para ulama di medan perang. Sebab peranan para ulama pada saat sebelumnya bukan hanya mengajarkan agama, melainkan turut ke dalam medan perang. Kedua, ia khawatir akan tercampurnya antara hadis-hadis yang shahih dengan hadis-hadis palsu. Ketiga, semakin meluasnya daerah kekuasaan islam, sementara kemampuan para tabiin antara satu dengan yang lainnya tidak sama, jelas sangat memerlukan adanya usaha kodifikasi ini.[27]
2.     Masa keempat: masa pembukuan hadis (dari permulaan abad kedua H – hingga akhir abad kedua). Masa kelima: masa mentashilkan hadis dan menyaringnya (abad ketiga hingga akhir). Masa keenam: masa menapis kitab-kitab hadis dan menyusun kitab-kitab jami’ yang khusus (dari awal abad keempat hingga jatuhnya Baghdad tahun 656 H). Masa ketujuh: masa membuat syarah, membuat kitab-kitab takhrij, mengumpulkan hadis-hadis hukum dan membuat kitab-kitab jami’ yang umum serta membahas hadis-hadis zawa-id (656 H hingga dewasa ini).

B.       Saran
1.     Memberikan kritikan dan masukkan yang membangun untuk kebaikan dalam pembuatan makalah selanjutnya.
2.     Mempertahankan pembuatan makalah yang lengkap seperti yang dituntut dalam mata kuliah ulumul hadis.
DAFTAR PUSTAKA

A.   Buku, Artikel, Makalah dan lain-lain:
Hasbi Ash Shiddieqy, “Sejarah Perkembangan Hadits” Bulan Bintang: Jakarta, Tahun 1988.
Khon Abdul Majid, “Ulumul Hadits”, Amzah : Jakarta, Tahun 2009.
Mudasir, “Ilmu Hadis” Pustaka Setia, Bandung, Tahun 2008
Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Teungku, “Sejarah & Penghantar Ilmu Hadis” Pustaka Rizki Putra, Semarang, Tahun 1992
Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Teungku, “Sejarah & Penghantar Ilmu Hadits Edisi Baru” Pustaka Rizki Putra, Semarang, Tahun 2009
Sahrani, Sohari, “Ulumul Hadits” Ghalia Indonesia, Bogor, Tahun 2010
Sumarna, Cecep, Yusuf Saefullah, “Penghantar Ilmu Hadis” Bani Quraisy, Bandung, Tahun 2004
Suparta, Munzier, “Ilmu Hadis” Raja Grafindo Persada, Jakarta, Tahun 2011
Suparta, Munzier, Untung Ranuwijaya, “Ilmu Hadis” PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, Tahun 1993
Suyadi, Agus, Agus Solahudin, “Ulumul Hadis” Pustaka Setia, Bandung, Tahun 2011

B.   Website:
http://riuisme.wordpress.com/2010/02/27/kodifikasi-hadith/ ( diunduh selasa, 02-04-2013, pukul 20:36 WIB)
http://arifah.wordpress.com/2011/02/04/kodifikasi-hadith/ (diunduh selasa, 02-04-2013, pukul 20:21 WIB)
http://amarsuteja.blogspot.com/2013/01/kodifikasi-hadist.html (diunduh selasa, 02-04-2013, pukul 20:30 WIB)
http://amarsuteja.blogspot.com/2013/01/kodifikasi-hadist.html (diunduh selasa, 02-04-2013, pukul 20:33 WIB)
http://amarsuteja.blogspot.com/2013/01/kodifikasi-hadist.html (diunduh selasa, 02-04-2013, pukul 20:33 WIB)
http://amarsuteja.blogspot.com/2013/01/kodifikasi-hadist.html (diunduh selasa, 02-04-2013, pukul 20:13 WIB)
http://amarsuteja.blogspot.com/2013/01/kodifikasi-hadist.html (diunduh selasa, 02-04-2013, pukul 20:33 WIB)
http://amarsuteja.blogspot.com/2013/01/kodifikasi-hadist.html (diunduh selasa, 02-04-2013, pukul 20:13 WIB)
http://amarsuteja.blogspot.com/2013/01/kodifikasi-hadist.html (diunduh rabu, 03-04-2013, pukul 07:40 WIB)


[1] Sohari Sahrani, Ulumul Hadis, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), Hlm. 65.
[2] http://riuisme.wordpress.com/2010/02/27/kodifikasi-hadith/ ( diunduh  selasa, 02-04-2013, pukul 20:36 WIB)
[3] http://arifah.wordpress.com/2011/02/04/kodifikasi-hadith/ (diunduh selasa, 02-04-2013, pukul 20:21 WIB)
[4] http://amarsuteja.blogspot.com/2013/01/kodifikasi-hadist.html (diunduh selasa, 02-04-2013, pukul 20:30 WIB)
[5] http://amarsuteja.blogspot.com/2013/01/kodifikasi-hadist.html (diunduh selasa, 02-04-2013, pukul 20:33 WIB)
[6] Mudasir, “Ilmu Hadis” (Bandung : Pustaka Setia, 2008), Hlm. 106.
[7] http://amarsuteja.blogspot.com/2013/01/kodifikasi-hadist.html (diunduh selasa, 02-04-2013, pukul 20:33 WIB)
[8] http://amarsuteja.blogspot.com/2013/01/kodifikasi-hadist.html (diunduh selasa, 02-04-2013, pukul 20:13 WIB)
[9] Sohari Sahrani, Ulumul Hadis, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), Hlm. 67.
[10] Agus Suyadi, Agus Solahudin, Ulumul Hadis, (Bandung: Pustaka Setia, 2011),Hlm. 38.
[11] Ibid. Hlm. 41.
[12] Agus Suyadi, Agus Solahudin, op.cit. hlm. 43.
[13] Mudasir, op.cit. hlm. 110
[14] Agus Suyadi, Agus Soalhudin, op.cit. hlm. 45.
[15]   Ibid. Hlm. 45.
[16] Ibid. Hlm. 46-47.
[17] Ibid. Hlm. 47.
[18] http://amarsuteja.blogspot.com/2013/01/kodifikasi-hadist.html (diunduh rabu, 03-04-2013, pukul 07:35 WIB)
[19] http://amarsuteja.blogspot.com/2013/01/kodifikasi-hadist.html (diunduh rabu, 03-04-2013, pukul 07:40 WIB)
[20] Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Teungku, “Sejarah & Penghantar Ilmu Hadis” (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1992), hlm. 106.
[21] Ibid. Hlm. 107.
[22] Ibid. Hlm. 108.
[23] Ibid. Hlm. 110.
[24] Ibid. Hlm. 111
[25] Ibid. Hlm. 111.
[26] Ibid. Hlm. 112.
[27] Mudasir, “Ilmu Hadis” (Bandung : Pustaka Setia, 2008), Hlm. 106.